oleh Dwi S. Wibowo
Bagi seorang perupa yang hidup
dan berkarya di masa kini, studio telah menjadi bagian penting dari proses
keseniannya. Di studio, gagasan dan konsep diolah dan kemudian dituangkan
menjadi karya sebelum akhirnya dipamerkan. Alur kerja seorang perupa menjadi
lebih sederhana, karena hanya berkutat dari studio, lalu galeri, dan akhirnya
sampai ke ruang koleksi para kolektor.
Memiliki studio menjadi wajib
hukumnya bagi seorang perupa profesional, apapun dan bagaimanapun bentuknya.
Bisa saja luas dan mewah dengan segala perlengkapan melukis yang lengkap, atau
bisa saja hanya berupa kamar kos sempit yang disulap menjadi sebuah studio
sederhana. Apapun itu, selama mampu mengakomodir kerja perupa, sah disebut
studio.
Anggapan yang berkembang
adalah; di dalam sebuah studio, seorang perupa dapat mengolah gagasannya dengan
lebih optimal tanpa terganggu faktor-faktor di luar dirinya. Angin, hujan, atau
panas matahari. Untuk menemukan objek ataupun melakukan studi bentuk dapat
dilakukan melalui piranti komputer dan internet. Dengan cara itu, melukis tidak
lagi menjadi sebuah pekerjaan yang rumit dan menyita banyak waktu juga tenaga.
Lain dulu, lain sekarang. Para
perupa yang hidup sebelum era digital, barangkali tidak terlalu mementingkan
studio dalam proses melahirkan karya. Sunarto Pr misalnya, pendiri Sanggar
Bambu tersebut, dalam sebuah perjumpaan pernah bercerita tentang pengalaman
melukisnya yang justru didominasi aktivitas di luar ruangan. Ia, bersama gurunya,
Sudarso seringkali bepergian ke suatu tempat untuk menemukan pemandangan yang
dirasa oleh mereka cukup unik dan memiliki sisi keindahan untuk diunggah ke
atas kanvas.
Perupa-perupa seangkatan
Sunarto Pr terbiasa berhadapan langsung dengan objek yang akan dilukisnya. Bagi
mereka, persinggungan secara langsung dengan objek itulah yang kemudian mereka
narasikan di atas kanvas, sehingga lukisan yang dihasilkan menjadi lebih
berbobot karena menyimpan sebuah narasi otentik.
Pengalaman empiris dalam
bersinggungan langsung dengan objek juga mampu mengasah kepekaan batin seorang
perupa, bukankah Monet juga menemukan esensi keseniannya saat melihat langsung
kilauan sinar matahari terbit di permukaan teluk Havre. Sehingga lahirlah
lukisan Impression Sunrise yang sangat terkenal itu dan
sekaligus menjadi penanda lahirnya gaya impressionisme di Prancis.
Bagi kebanyakan perupa zaman
sekarang, melukis di luar studio barangkali dianggap kuno dan (mungkin)
buang-buang waktu. Namun anggapan itu sepertinya tidak berlaku bagi para perupa
yang mengikuti program Bali Artist’s Camp 2014, mereka rela meninggalkan studio
menuju ke area perbukitan di daerah Tambakan, Buleleng. Selama beberapa hari,
mereka mendirikan kemah dan melukis di alam terbuka.
Dalam kegiatan yang diinisiasi
oleh Made Budhiana dan rekannya, Collin yang berasal dari Australia, mereka
mengundang sejumlah perupa yang berasal dari Bali dan juga Australia. Untuk
kali kedua penyelenggaraan Artist’s Camp ini, tercatat beberapa nama perupa
asal Bali yang diundang antara lain Nyoman Sani, Lekung, Ketut Jaya, Made
Suarimbawa, Made Sudibia, Wayan Wirawan, Sipamanik, dan Uuk Paramahita.
Sementara perupa asal Australia diwakili oleh Mia Salsjo, seorang pelukis dan
dosen seni di Melbourne.
Sebagaimana perupa lain, mereka
sama-sama terbiasa bekerja di dalam studio dan berkutat dengan alam pikirannya
sendiri dalam menghasilkan sebuah karya. Tentu bukan hal yang mudah untuk
beralih dari kebiasaan tersebut, dan mencoba beradaptasi dengan alam yang
sesungguhnya. Perjumpaan semacam ini pada akhirnya akan menimbulkan pergesekan
yang berdampak langsung terhadap karya mereka, perubahan-perubahan objek itulah
yang nampak paling sederhana.
Nyoman Sani misalnya, selama
ini lukisan-lukisannya lebih didominasi oleh figur-figur perempuan yang fashionable dengan warna-warna terang. Memadukan
kemolekan lekuk tubuh perempuan dengan gemerlap fashion yang menggoda mata,
sebagaimana para sosialita yang mengisi halaman-halaman majalah dan menyesaki
pusat-pusat perbelanjaan dengan segala macam tetek bengek kebutuhan extra ordinary- nya. Yang justru bertolak belakang dengan realitas alam
dan budaya yang dihadapinya di Bali.
Dalam program Bali Artist’s
Camp ini, Sani mencoba membalik badan dengan memotret eksotika alam Bali yang
terbentang dari perbukitan Tambakan. Dengan label Nature Series, periode
singkat ini terdiri dari beberapa sketsa panorama pegunungan dengan dominasi
warna hijau dan hitam, warna yang jarang nampak dalam lukisan-lukisannya yang
lain. Pembalikan objek dan warna ini, tentu dapat ditafsirkan dengan sangat
luas, apalagi jika dikaitkan dengan konteks sosial masyarakat Bali saat ini.
Alam merupakan bagian penting
dari kehidupan masyarakat Bali. Adat, tradisi, maupun sendi perekonomiannya
terhubung dengan alam sebagai penyedia sumber daya. Oleh karenanya, alam tidak
pernah lepas dari aspek yang diutamakan. Dalam seni misalnya, sejak dahulu,
seni rupa Bali telah menjadikan alam sebagai sumber inspirasi yang tidak
habis-habis. Bahkan, alam jugalah yang menarik para perupa asing menetap dan
berkarya di Bali. Dari lukisan Walter Spies hingga Arie Smit, didominasi
eksotika panorama alam Bali.
Kesadaran akan alam itulah yang
mendasari penyelenggaraan Bali Artist’s Camp, seperti diungkapkan oleh Made
Budhiana sebagai salah satu inisiator sekaligus perupa yang turut serta melukis
dalam kegiatan tersebut. Karya-karya yang dihasilkan dari program Bali Artist’s
Camp tersebut selanjutnya dipamerkan di Made Budhiana Gallery yang terletak di Villa
Pandan Harum, Ubud, Bali hingga 7 Oktober 2014.
*) catatan ini pernah dipublikasikan di jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar