Rabu, 03 Juni 2015

Latepost: Perjumpaan (kembali) dengan Alam



oleh Dwi S. Wibowo
 BALI ARTIST’S CAMP 2014: Perjumpaan (Kembali) dengan Alam
Bagi seorang perupa yang hidup dan berkarya di masa kini, studio telah menjadi bagian penting dari proses keseniannya. Di studio, gagasan dan konsep diolah dan kemudian dituangkan menjadi karya sebelum akhirnya dipamerkan. Alur kerja seorang perupa menjadi lebih sederhana, karena hanya berkutat dari studio, lalu galeri, dan akhirnya sampai ke ruang koleksi para kolektor.
Memiliki studio menjadi wajib hukumnya bagi seorang perupa profesional, apapun dan bagaimanapun bentuknya. Bisa saja luas dan mewah dengan segala perlengkapan melukis yang lengkap, atau bisa saja hanya berupa kamar kos sempit yang disulap menjadi sebuah studio sederhana. Apapun itu, selama mampu mengakomodir kerja perupa, sah disebut studio.
Anggapan yang berkembang adalah; di dalam sebuah studio, seorang perupa dapat mengolah gagasannya dengan lebih optimal tanpa terganggu faktor-faktor di luar dirinya. Angin, hujan, atau panas matahari. Untuk menemukan objek ataupun melakukan studi bentuk dapat dilakukan melalui piranti komputer dan internet. Dengan cara itu, melukis tidak lagi menjadi sebuah pekerjaan yang rumit dan menyita banyak waktu juga tenaga.
Lain dulu, lain sekarang. Para perupa yang hidup sebelum era digital, barangkali tidak terlalu mementingkan studio dalam proses melahirkan karya. Sunarto Pr misalnya, pendiri Sanggar Bambu tersebut, dalam sebuah perjumpaan pernah bercerita tentang pengalaman melukisnya yang justru didominasi aktivitas di luar ruangan. Ia, bersama gurunya, Sudarso seringkali bepergian ke suatu tempat untuk menemukan pemandangan yang dirasa oleh mereka cukup unik dan memiliki sisi keindahan untuk diunggah ke atas kanvas.
Perupa-perupa seangkatan Sunarto Pr terbiasa berhadapan langsung dengan objek yang akan dilukisnya. Bagi mereka, persinggungan secara langsung dengan objek itulah yang kemudian mereka narasikan di atas kanvas, sehingga lukisan yang dihasilkan menjadi lebih berbobot karena menyimpan sebuah narasi otentik.
Pengalaman empiris dalam bersinggungan langsung dengan objek juga mampu mengasah kepekaan batin seorang perupa, bukankah Monet juga menemukan esensi keseniannya saat melihat langsung kilauan sinar matahari terbit di permukaan teluk Havre. Sehingga lahirlah lukisan Impression Sunrise yang sangat terkenal itu dan sekaligus menjadi penanda lahirnya gaya impressionisme di Prancis.
Bagi kebanyakan perupa zaman sekarang, melukis di luar studio barangkali dianggap kuno dan (mungkin) buang-buang waktu. Namun anggapan itu sepertinya tidak berlaku bagi para perupa yang mengikuti program Bali Artist’s Camp 2014, mereka rela meninggalkan studio menuju ke area perbukitan di daerah Tambakan, Buleleng. Selama beberapa hari, mereka mendirikan kemah dan melukis di alam terbuka. 

Dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Made Budhiana dan rekannya, Collin yang berasal dari Australia, mereka mengundang sejumlah perupa yang berasal dari Bali dan juga Australia. Untuk kali kedua penyelenggaraan Artist’s Camp ini, tercatat beberapa nama perupa asal Bali yang diundang antara lain Nyoman Sani, Lekung, Ketut Jaya, Made Suarimbawa, Made Sudibia, Wayan Wirawan, Sipamanik, dan Uuk Paramahita. Sementara perupa asal Australia diwakili oleh Mia Salsjo, seorang pelukis dan dosen seni di Melbourne.
Sebagaimana perupa lain, mereka sama-sama terbiasa bekerja di dalam studio dan berkutat dengan alam pikirannya sendiri dalam menghasilkan sebuah karya. Tentu bukan hal yang mudah untuk beralih dari kebiasaan tersebut, dan mencoba beradaptasi dengan alam yang sesungguhnya. Perjumpaan semacam ini pada akhirnya akan menimbulkan pergesekan yang berdampak langsung terhadap karya mereka, perubahan-perubahan objek itulah yang nampak paling sederhana.
Nyoman Sani misalnya, selama ini lukisan-lukisannya lebih didominasi oleh figur-figur perempuan yang fashionable dengan warna-warna terang. Memadukan kemolekan lekuk tubuh perempuan dengan gemerlap fashion yang menggoda mata, sebagaimana para sosialita yang mengisi halaman-halaman majalah dan menyesaki pusat-pusat perbelanjaan dengan segala macam tetek bengek kebutuhan extra ordinary- nya. Yang justru bertolak belakang dengan realitas alam dan budaya yang dihadapinya di Bali.
Dalam program Bali Artist’s Camp ini, Sani mencoba membalik badan dengan memotret eksotika alam Bali yang terbentang dari perbukitan Tambakan. Dengan label Nature Series, periode singkat ini terdiri dari beberapa sketsa panorama pegunungan dengan dominasi warna hijau dan hitam, warna yang jarang nampak dalam lukisan-lukisannya yang lain. Pembalikan objek dan warna ini, tentu dapat ditafsirkan dengan sangat luas, apalagi jika dikaitkan dengan konteks sosial masyarakat Bali saat ini.
Alam merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali. Adat, tradisi, maupun sendi perekonomiannya terhubung dengan alam sebagai penyedia sumber daya. Oleh karenanya, alam tidak pernah lepas dari aspek yang diutamakan. Dalam seni misalnya, sejak dahulu, seni rupa Bali telah menjadikan alam sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habis. Bahkan, alam jugalah yang menarik para perupa asing menetap dan berkarya di Bali. Dari lukisan Walter Spies hingga Arie Smit, didominasi eksotika panorama alam Bali.
Kesadaran akan alam itulah yang mendasari penyelenggaraan Bali Artist’s Camp, seperti diungkapkan oleh Made Budhiana sebagai salah satu inisiator sekaligus perupa yang turut serta melukis dalam kegiatan tersebut. Karya-karya yang dihasilkan dari program Bali Artist’s Camp tersebut selanjutnya dipamerkan di Made Budhiana Gallery yang terletak di Villa Pandan Harum, Ubud, Bali hingga 7 Oktober 2014. 

*) catatan ini pernah dipublikasikan di jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar