oleh Dwi S. Wibowo
"Praktek Penyiksaan oleh tentara jepang" karya lee man fong |
Sebuah lukisan berangka tahun
1945 menggambarkan dua orang tentara Jepang yang tengah menggelonggong sesosok
tubuh lelaki di hadapannya, lelaki tersebut adalah lelaki pribumi yang menjadi
seorang tenaga paksa romusha. Terbaring tidak berdaya di atas tandu, sementara
perutnya terus mengelembung akibat semakin banyak cairan yang dialirkan melalui
selang besar yang disumpal ke mulutnya. Lukisan tersebut merupakan karya
seorang pelukis asal Tiongkok yang menetap di indonesia, Lee Man Fong, yang
kelak diangkat menjadi salah seorang pelukis istana oleh Soekarno.
Lukisan, pada masa itu, menjadi
sebuah medium untuk merekam situasi sosial juga kekerasan yang terjadi pada
masa pendudukan jepang. Sejarah mencatat, bahwa bukan hanya Lee Man Fong yang
melukiskan kekejaman tentara jepang terhadap penduduk pribumi, pelukis lain
yang juga menggambarkan hal serupa adalah Soedibio. Lukisan-lukisan
surrealisnya yang dibuat pada rentang tahun 1943-1945 menampilkan kengerian
yang dibangun melalui figur-figur yang tersiksa, terikat di jeruji besi, juga
tergantung di sebuah tiang yang ujungnya membentuk telapak tangan dengan seekor
gagak tengah mematuki luka yang menganga.
Karya-karya para pelukis pada
masa itu memang secara gamblang memberi gambaran atas realitas pahit yang
terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Penderitaan menjadi wajah
yang dapat dilihat sehari-hari, kesengsaraan tidak lagi menjadi hal asing dalam
kehidupan masyarakat jajahan. Iming-iming sebagai saudara tua yang dijanjikan
oleh Kaisar jepang seolah hanya semu belaka, tidak lebih dari sekedar upaya
untuk merangkul barisan muda Indonesia agar berpihak pada kubu Asia Timur Raya dalam
perang dunia kedua.
Setelah serah terima jajahan
oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kekaisaran Jepang, praktis situasi
sosial di indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis. Jika pemerintahan
kolonial Belanda lebih menekankan pada sistem politik dalam menekan kedaulatan
rakyat Indonesia, maka pola yang diterapkan oleh Jepang cenderung bergaya
militeristik yang cenderung menimbulkan konflik fisik dengan masyarakat. Sekalipun
pemerintah Jepang juga melakukan pendekatan-pendekatan terhadap rakyat indonesia
dengan berbagai cara; mendirikan Peta, Putera, bahkan menjanjikan kemerdekaan.
Perubahan pola pemerintahan
yang terjadi di Indonesia tersebut, rupanya juga memberi dampak terhadap
situasi seni rupa pada masa itu. Jika pada masa pemerintahan kolonial Belanda kerap
dijumpai lukisan-lukisan yang menampilkan kemolekan alam Hindia, atau yang
lebih dikenal sebagai mooi indie, maka gambaran kontras justru
dihadirkan oleh pelukis-pelukis pada masa pendudukan Jepang. Meskipun tidak
dipungkiri bahwa S. Sudjojono juga telah melakukan propaganda jiwa ketok
sejak masa kolonial Belanda, yang juga menampilkan sisi kelam dari masyarakat
indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap mooi indie.
"kepadamu, rakyat jogja" karya soedibio |
Lukisan-lukisan yang
menampilkan sisi kelam rakyat Indonesia tersebut mulai marak pada awal tahun
1940-an dan mencapai puncaknya menjelang keruntuhan kuasa Jepang atas Indonesia.
Banyak pelukis pada masa itu yang tergabung dalam Persagi dan juga SIM yang
melakukan aksi turun ke bawah untuk melihat sekaligus melukiskan situasi sosial
yang terjadi dalam masyarakat. Hendra Gunawan, Affandi, Emiria Soenassa, dan
Wakidi pada masa itu cukup banyak melukiskan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat.
Misalnya karya Affandi yang menggambarkan seorang pengemis buta yang dituntun
anaknya, atau karya Emiria yang menggambarkan suasana kumuh sebuah pasar.
Karya-karya Lee Man Fong dan
Soedibio juga perlu dicatat sebagai klimaks dari gambaran penderitaan yang
terjadi pada masa itu, bahwa telah terjadi kekejaman yang sama sekali tidak
manusiawi oleh tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia. Kesadaran semacam itu
tentu mutlak dimiliki oleh seorang seniman sebagai bentuk kepekaan sosial. Dan
sudah menjadi tugas seniman merekamnya melalui karya, selain sebagai bentuk
dokumentasi visual, juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat
terhadap situasi sosial dan ketidak adilan yang menimpa bangsanya.
Selain gambaran kemiskinan dan
penderitaan, para pelukis yang turut serta turun berjuang pada masa itu juga
menampilkan banyak tema-tema perang dalam lukisannya. Tidak sedikit dari para
pelukis tersebut yang memang turun langsung memegang senjata, seperti Hendra Gunawan
misalnya yang melukiskan “Pengantin Revolusi”. Dalam lukisan tersebut, Hendra
juga melampirkan potret dirinya berseragam tentara tengah menyaksikan
iring-iringan pengantin di atas sepeda. Patriotisme dan optimisme begitu nampak
dalam karya-karya bertema perang semacam ini, seolah tiap figur di dalamnya
ingin berkata, “Perjuangan belum berakhir, Bung!”
*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar