Selasa, 02 Juni 2015

Wajah "Ngeri" Penjajahan Jepang



oleh Dwi S. Wibowo

"Praktek Penyiksaan oleh tentara jepang" karya lee man fong

Sebuah lukisan berangka tahun 1945 menggambarkan dua orang tentara Jepang yang tengah menggelonggong sesosok tubuh lelaki di hadapannya, lelaki tersebut adalah lelaki pribumi yang menjadi seorang tenaga paksa romusha. Terbaring tidak berdaya di atas tandu, sementara perutnya terus mengelembung akibat semakin banyak cairan yang dialirkan melalui selang besar yang disumpal ke mulutnya. Lukisan tersebut merupakan karya seorang pelukis asal Tiongkok yang menetap di indonesia, Lee Man Fong, yang kelak diangkat menjadi salah seorang pelukis istana oleh Soekarno.
Lukisan, pada masa itu, menjadi sebuah medium untuk merekam situasi sosial juga kekerasan yang terjadi pada masa pendudukan jepang. Sejarah mencatat, bahwa bukan hanya Lee Man Fong yang melukiskan kekejaman tentara jepang terhadap penduduk pribumi, pelukis lain yang juga menggambarkan hal serupa adalah Soedibio. Lukisan-lukisan surrealisnya yang dibuat pada rentang tahun 1943-1945 menampilkan kengerian yang dibangun melalui figur-figur yang tersiksa, terikat di jeruji besi, juga tergantung di sebuah tiang yang ujungnya membentuk telapak tangan dengan seekor gagak tengah mematuki luka yang menganga.
Karya-karya para pelukis pada masa itu memang secara gamblang memberi gambaran atas realitas pahit yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Penderitaan menjadi wajah yang dapat dilihat sehari-hari, kesengsaraan tidak lagi menjadi hal asing dalam kehidupan masyarakat jajahan. Iming-iming sebagai saudara tua yang dijanjikan oleh Kaisar jepang seolah hanya semu belaka, tidak lebih dari sekedar upaya untuk merangkul barisan muda Indonesia agar berpihak pada kubu Asia Timur Raya dalam perang dunia kedua.
Setelah serah terima jajahan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kekaisaran Jepang, praktis situasi sosial di indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis. Jika pemerintahan kolonial Belanda lebih menekankan pada sistem politik dalam menekan kedaulatan rakyat Indonesia, maka pola yang diterapkan oleh Jepang cenderung bergaya militeristik yang cenderung menimbulkan konflik fisik dengan masyarakat. Sekalipun pemerintah Jepang juga melakukan pendekatan-pendekatan terhadap rakyat indonesia dengan berbagai cara; mendirikan Peta, Putera, bahkan menjanjikan kemerdekaan.
Perubahan pola pemerintahan yang terjadi di Indonesia tersebut, rupanya juga memberi dampak terhadap situasi seni rupa pada masa itu. Jika pada masa pemerintahan kolonial Belanda kerap dijumpai lukisan-lukisan yang menampilkan kemolekan alam Hindia, atau yang lebih dikenal sebagai mooi indie, maka gambaran kontras justru dihadirkan oleh pelukis-pelukis pada masa pendudukan Jepang. Meskipun tidak dipungkiri bahwa S. Sudjojono juga telah melakukan propaganda jiwa ketok sejak masa kolonial Belanda, yang juga menampilkan sisi kelam dari masyarakat indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap mooi indie.  
"kepadamu, rakyat jogja" karya soedibio
Lukisan-lukisan yang menampilkan sisi kelam rakyat Indonesia tersebut mulai marak pada awal tahun 1940-an dan mencapai puncaknya menjelang keruntuhan kuasa Jepang atas Indonesia. Banyak pelukis pada masa itu yang tergabung dalam Persagi dan juga SIM yang melakukan aksi turun ke bawah untuk melihat sekaligus melukiskan situasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hendra Gunawan, Affandi, Emiria Soenassa, dan Wakidi pada masa itu cukup banyak melukiskan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya karya Affandi yang menggambarkan seorang pengemis buta yang dituntun anaknya, atau karya Emiria yang menggambarkan suasana kumuh sebuah pasar.
Karya-karya Lee Man Fong dan Soedibio juga perlu dicatat sebagai klimaks dari gambaran penderitaan yang terjadi pada masa itu, bahwa telah terjadi kekejaman yang sama sekali tidak manusiawi oleh tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia. Kesadaran semacam itu tentu mutlak dimiliki oleh seorang seniman sebagai bentuk kepekaan sosial. Dan sudah menjadi tugas seniman merekamnya melalui karya, selain sebagai bentuk dokumentasi visual, juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap situasi sosial dan ketidak adilan yang menimpa bangsanya.
Selain gambaran kemiskinan dan penderitaan, para pelukis yang turut serta turun berjuang pada masa itu juga menampilkan banyak tema-tema perang dalam lukisannya. Tidak sedikit dari para pelukis tersebut yang memang turun langsung memegang senjata, seperti Hendra Gunawan misalnya yang melukiskan “Pengantin Revolusi”. Dalam lukisan tersebut, Hendra juga melampirkan potret dirinya berseragam tentara tengah menyaksikan iring-iringan pengantin di atas sepeda. Patriotisme dan optimisme begitu nampak dalam karya-karya bertema perang semacam ini, seolah tiap figur di dalamnya ingin berkata, “Perjuangan belum berakhir, Bung!”

*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar