oleh Dwi S. Wibowo
"bung karno, setelah pengasingan" karya Edhi Sunarso |
Bung Karno kembali ke Jogja!
Dengan mengenakan setelan jas khasnya, juga peci hitam Marhaenis kebanggaannya,
ia berdiri dengan menenteng sebuah mantel di lengan kirinya. Kedua matanya
memandang lurus, badannya tegap penuh keyakinan dan harapan, seperti itulah
kira-kira gambaran Bung Karno saat kembali dari pengasingan di kota Ende,
Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dengan tinggi mencapai empat
setengah meter, gambaran tersebut kembali dihadirkan oleh Edhi Sunarso dalam
bentuk patung yang menggunakan bahan dasar perunggu. Patung tersebut diberi
tajuk “Soekarno dari Pengasingan Pulau Ende”. Patung yang tingginya melebihi
dua kali orang dewasa tersebut merupakan salah satu karya yang dipamerkan dalam
gelaran Artjog 20S14 yang mengusung tema “Legacies
of Power”.
Patung yang dibuat tahun 1998
tersebut merupakan sebuah bentuk penghormatan yang diberikan sang maestro
patung Indonesia tersebut kepada sosok Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan
Indonesia. Pematung kelahiran tahun 1932 tersebut mungkin tidak melihat
langsung saat Bung Karno kembali dari pengasingannya. Tapi sebagai seorang
seniman handal ia tentu mampu menangkap patriotisme Bung Karno kala itu,
meskipun hanya lewat imajinasi.
Tahun 1934, saat usianya
menginjak angka 33 tahun, Bung Karno diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke
Ende. Sebagai seorang tahanan politik, selama di Ende ia tidak memiliki
kebebasan penuh. Seluruh aktifitasnya di kota tersebut dibatasi, terutama yang
menyangkut hal politik. Oleh karenanya, Bung karno lebih banyak mengalihkan
kegiatannya ke bidang seni seperti menulis naskah drama dan mementaskannya
bersama masyarakat setempat.
Lebih dari empat tahun, sang putra
fajar diasingkan di kota tersebut. Suasana yang tenang dan jauh dari kontak
fisik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu, ternyata mampu
memberinya inspirasi untuk menulis landasan dasar negara, Pancasila. Konon,
bung karno merenungkannya di bawah pohon sukun, pada suatu hari sebelum ia
terserang malaria.
Sebelum menempuh studi di ASRI,
Edhi Sunarso merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Baginya, sosok Bung Karno
mewakili sifat nasionalisme dan patriotisme terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dan momen Bung Karno kembali dari pengasingannya di kota Ende
merupakan cercah harapan bagi bangsa Indonesia yang kala itu masih berada di
bawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam pandangannya, lahirnya
Pancasila merupakan langkah awal menuju kemerdekaan.
Kedekatan dengan Bung Karno
Eddhi Sunarso |
Sosok Bung Karno bukanlah orang
yang asing bagi Edhi Sunarso, begitu juga sebaliknya. Perjumpaan awal mereka
ialah pada saat Edhi Sunarso memperoleh penghargaan sebagai pemenang kedua
lomba patung tingkat internasional yang diselenggarakan di London. Mengetahui
prestasi tersebut, Bung Karno segera memanggil Edhi Sunarso ke Jakarta untuk
ditugaskan membangun patung Selamat Datang menggunakan perunggu.
Awalnya, ia merasa ragu karena
tak memiliki pengalaman menggunakan perunggu sebagai media pembuatan patung. Teknik
pengecorannyapun tak ia pahami saat itu. Tapi semangat yang diberikan oleh Bung
Karno segera melecutnya, “Kamu pejuang kan? Bertempur melawan Belanda saja kamu
berani, masa membuat patung tidak?” Itulah titik awal Edhi Sunarso menjadi
pematung kepercayaan Presiden Pertama RI tersebut.
Akan tetapi, hubungan yang
terjalin baik tersebut kemudian berakhir dengan sebuah kisah duka. Saat
ditugaskan untuk membangun Monumen Dirgantara, Bung Karno hanya sempat
melihatnya dua kali, sebelum akhirnya proyek itu tertunda akibat G30S tahun
1965. Monumen tersebut dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan dirgantara,
“Kalau bangsa Amerika dan bangsa Soviet bisa bangga pada industri pesawatnya,
bangsa Indonesia bisa bangga pada keberaniannya!” itulah kutipan percakapan
Bung Karno dengan Edhi Sunarso saat mengutarakan niatnya membangun Monumen Dirgantara.
Monumen tersebut merupakan
pesanan terakhir Bung Karno yang tidak pernah dilihat dan diresmikan olehnya. Pada
tanggal 21 Juni 1970, saat Edhi Sunarso tengah berada di monumen tersebut,
muncul iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang pekerja memberitahunya bahwa
mobil jenazah tersebut membawa Bung Karno, Edhi Sunarso seketika lemas kala
itu.
Sosok Bung Karno tentu memiliki
makna penting bagi sang maestro patung tersebut. Pengalamannya bekerja sama
dengan sang presiden tentu menjadi catatan sejarah bangsa yang berharga, dan
juga memorabilia personal baginya. Seluruhnya kini tertuang dalam patung
setinggi empat setengah meter tersebut.
*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar