Selasa, 02 Juni 2015

Latepost: Bung Karno Kembali Ke Jogja



oleh Dwi S. Wibowo
"bung karno, setelah pengasingan" karya Edhi Sunarso
Bung Karno kembali ke Jogja! Dengan mengenakan setelan jas khasnya, juga peci hitam Marhaenis kebanggaannya, ia berdiri dengan menenteng sebuah mantel di lengan kirinya. Kedua matanya memandang lurus, badannya tegap penuh keyakinan dan harapan, seperti itulah kira-kira gambaran Bung Karno saat kembali dari pengasingan di kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dengan tinggi mencapai empat setengah meter, gambaran tersebut kembali dihadirkan oleh Edhi Sunarso dalam bentuk patung yang menggunakan bahan dasar perunggu. Patung tersebut diberi tajuk “Soekarno dari Pengasingan Pulau Ende”. Patung yang tingginya melebihi dua kali orang dewasa tersebut merupakan salah satu karya yang dipamerkan dalam gelaran Artjog 20S14 yang mengusung tema “Legacies of Power”.
Patung yang dibuat tahun 1998 tersebut merupakan sebuah bentuk penghormatan yang diberikan sang maestro patung Indonesia tersebut kepada sosok Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Indonesia. Pematung kelahiran tahun 1932 tersebut mungkin tidak melihat langsung saat Bung Karno kembali dari pengasingannya. Tapi sebagai seorang seniman handal ia tentu mampu menangkap patriotisme Bung Karno kala itu, meskipun hanya lewat imajinasi.
Tahun 1934, saat usianya menginjak angka 33 tahun, Bung Karno diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Ende. Sebagai seorang tahanan politik, selama di Ende ia tidak memiliki kebebasan penuh. Seluruh aktifitasnya di kota tersebut dibatasi, terutama yang menyangkut hal politik. Oleh karenanya, Bung karno lebih banyak mengalihkan kegiatannya ke bidang seni seperti menulis naskah drama dan mementaskannya bersama masyarakat setempat.
Lebih dari empat tahun, sang putra fajar diasingkan di kota tersebut. Suasana yang tenang dan jauh dari kontak fisik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu, ternyata mampu memberinya inspirasi untuk menulis landasan dasar negara, Pancasila. Konon, bung karno merenungkannya di bawah pohon sukun, pada suatu hari sebelum ia terserang malaria.
Sebelum menempuh studi di ASRI, Edhi Sunarso merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Baginya, sosok Bung Karno mewakili sifat nasionalisme dan patriotisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan momen Bung Karno kembali dari pengasingannya di kota Ende merupakan cercah harapan bagi bangsa Indonesia yang kala itu masih berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam pandangannya, lahirnya Pancasila merupakan langkah awal menuju kemerdekaan.
Kedekatan dengan Bung Karno
Eddhi Sunarso
Sosok Bung Karno bukanlah orang yang asing bagi Edhi Sunarso, begitu juga sebaliknya. Perjumpaan awal mereka ialah pada saat Edhi Sunarso memperoleh penghargaan sebagai pemenang kedua lomba patung tingkat internasional yang diselenggarakan di London. Mengetahui prestasi tersebut, Bung Karno segera memanggil Edhi Sunarso ke Jakarta untuk ditugaskan membangun patung Selamat Datang menggunakan perunggu.
Awalnya, ia merasa ragu karena tak memiliki pengalaman menggunakan perunggu sebagai media pembuatan patung. Teknik pengecorannyapun tak ia pahami saat itu. Tapi semangat yang diberikan oleh Bung Karno segera melecutnya, “Kamu pejuang kan? Bertempur melawan Belanda saja kamu berani, masa membuat patung tidak?” Itulah titik awal Edhi Sunarso menjadi pematung kepercayaan Presiden Pertama RI tersebut.
Akan tetapi, hubungan yang terjalin baik tersebut kemudian berakhir dengan sebuah kisah duka. Saat ditugaskan untuk membangun Monumen Dirgantara, Bung Karno hanya sempat melihatnya dua kali, sebelum akhirnya proyek itu tertunda akibat G30S tahun 1965. Monumen tersebut dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan dirgantara, “Kalau bangsa Amerika dan bangsa Soviet bisa bangga pada industri pesawatnya, bangsa Indonesia bisa bangga pada keberaniannya!” itulah kutipan percakapan Bung Karno dengan Edhi Sunarso saat mengutarakan niatnya membangun Monumen Dirgantara.
Monumen tersebut merupakan pesanan terakhir Bung Karno yang tidak pernah dilihat dan diresmikan olehnya. Pada tanggal 21 Juni 1970, saat Edhi Sunarso tengah berada di monumen tersebut, muncul iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang pekerja memberitahunya bahwa mobil jenazah tersebut membawa Bung Karno, Edhi Sunarso seketika lemas kala itu.
Sosok Bung Karno tentu memiliki makna penting bagi sang maestro patung tersebut. Pengalamannya bekerja sama dengan sang presiden tentu menjadi catatan sejarah bangsa yang berharga, dan juga memorabilia personal baginya. Seluruhnya kini tertuang dalam patung setinggi empat setengah meter tersebut. 

*)catatan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar