Sabtu, 06 Juni 2015

Menafsir Ritus Lewat Fotografi

oleh Dwi S. Wibowo
 


Sejak kehadirannya pada abad 19 lalu, fotografi segera merebut perhatian publik sebagai media perekam sekaligus penghadir ulang kenyataan yang paling ampuh. Kemampuan mekanisnya dalam menangkap detail dari sebuah peristiwa, membuat manusia modern hingga kini terus mengagungkannya sebagai pencatat sejarah atas peristiwa yang dialaminya maupun yang terjadi di seputar dunia. Fotografi menjelma menjadi sarana dokumentasi yang paling populer seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Dari ruang-ruang personal hingga peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di entah belahan dunia mana, tidak luput dari tangkapan lensa kamera. Terlepas dari fungsi tersebut, fotografi juga menjadi bagian dari sarana ekspresi bagi seniman visual dalam menuangkan gagasannya. Ekspresi tersebut bisa saja berupa konsep atau bisa juga berupa respon atas suatu peristiwa.
Sebuah pameran bertajuk “Prayascita” yang digelar komunitas fotografi Lingkara Photoart mencoba menghadirkan sudut pandang lain dalam menakar sebuah peristiwa melalui fotografi. Bebarengan dengan prosesi (ritual) yang digelar oleh komunitas ini untuk menandai berakhirnya renovasi ruang yang selama ini mereka tempati sebagai ruang kreatif, sebuah ritus penyucian diri pun mereka langsungkan pada hari Minggu, 3 Mei lalu.
Dalam tradisi masyarakat Bali, prosesi penyucian diri disebut sebagai ritus Prayascita. Sebuah ritus yang digelar untuk menandai babak baru dalam kehidupan manusia pasca peristiwa besar (bersifat baik maupun buruk) yang berlangsung dalam hidupnya. Bagi masyarakat Bali, ritus telah menjadi peristiwa yang berlangsung sehari-hari. Satu ritus akan segera disambut dengan ritus yang lain dalam kurun waktu yang relatif berdekatan, oleh karenanya ritus tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Erik Prasetya dalam bukunya, Estetika Banal, memandang fotografi sebagai sarana untuk merekam berbagai peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat apapun stratifikasinya. Fotografi tidak lagi terjebak pada ruang-ruang yang ditata sedimikian rupa dengan tujuan semata-mata untuk mengejar keindahan visual yang dihasilkan oleh kamera. Akan tetapi, fotografi bisa saja masuk ke segala ruang yang memungkinkan lensa kamera bekerja. Kerumunan orang di pinggir jalan, keriuhan pasar tradisional, timbunan sampah sehabis upacara, ataupun sumuk sesaknya sebuah bis kotapun layak direkam melalui fotografi.
Terlepas dari kesucian prosesi Prayascita yang dilangsungkan, pameran foto ini mencoba memberikan takaran baru atas tema ataupun peristiwa Prayascita itu sendiri. Foto-foto yang hadir di sini tidak hanya merekam prosesi tersebut sebagai peristiwa yang dibekukan, melainkan mencari sejauh mungkin kemungkinan-kemungkinan baru untuk memaknai prosesi yang mereka langsungkan maupun mendedah realitas yang mereka alami sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh DP Arsa, penggerak komunitas Lingkara Photoart yang juga turut memamerkan karyanya dalam pameran ini. Bahwa setiap fotografer yang terlibat dalam pameran tersebut dibebaskan untuk menjelajahi berbagai kemungkinan pemaknaan, baik pada tataran empirik maupun semiotik atas tema Prayascita tersebut. 
 Melalui karya yang berjudul “Journey to Holy,” DP Arsa menghadirkan sebuah gambaran filosofis tentang perjalanan kehidupan manusia yang dimetaforakan melalui pisang dan lima gulung daun dap-dap. Dua macam benda yang begitu kerap dijumpai pada hampir setiap prosesi upacara dalam tradisi bali. Kedua benda tersebut tentu menyimpan nilai-nilai filosofis kehidupan manusia, dengan kesadaran bahwa setiap hal yang menjadi sarana atau kelengkapan dalam sebuah prosesi merupakan simbol-simbol dari tata nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam kultur masyarakat tradisional yang cenderung bercorak agraris, sebagaimana Bali, terdapat suatu kesadaran kolektif tentang segala sesuatu yang terdapat di alam saling terkoneksi satu sama lain. Segala yang tumbuh, dimaknai sebagaimana makhluk hidup sekaligus dipersonifikasikan. Sehingga sifat benda-benda (pohon, buah, dan binatang) tersebut juga mewakili sifat-sifat kemanusiaan. Gambaran tersebut divisualkan dengan sangat apik oleh Alma, Fotografer wanita tersebut mendedah makna ritus melalui tiga benda yang baginya dianggap mewakili jenjang kehidupan manusia. Serupa dengan Arsa, Alma juga mengambil objek dari khazanah ritus itu sendiri, yaitu telur bebek, beras, dan bungkak (kelapa muda) gading yang masing-masing diikat dengan benang tiga warna; Tridatu. “Telur menjadi simbol kelahiran, beras menjadi simbol kehidupan itu sendiri, sedangkan bungkak menjadi simbol dunia pasca kehidupan itu,” jelasnya. Dengan latar yang serba gelap, Alma mencoba menawarkan esensi tentang pencarian makna itu sendiri.
Sedikit mengutip Sontag, bahwa dalam fotografi, memotret sama halnya dengan mengambil posisi dalam keringkihan dan kefanaan orang lain. Dalam setiap peristiwa, seorang fotografer tetaplah menjadi entitas yang berada di luar lingkup tersebut. Fotografer berhak menentukan dari sudut mana ia ingin merekam yang sekaligus menjadi pernyataan sikapnya terhadap situasi yang dilihatnya itu. Sepakat atau tidak, serangkaian foto yang diambil dari sebuah peristiwa (prosesi) akan menyusun narasinya sendiri saat berhadapan dengan pengunjung pameran. Rudi Waisnawa menghadirkan narasi itu dengan memotret tahapan penyucian diri yang dilakukan sebuah keluarga terhadap salah satu anggotanya yang mengalami gangguan jiwa. Seolah menarik pemirsa untuk masuk dalam peristiwa tersebut, sekaligus membangun empati terhadapnya.
Pada akhirnya, fotografi adalah soal berbagi pandangan. Membagi pengalaman melihat, sekaligus subjektifitas si pemilik lensa. Dan melalui pameran ini, setiap pengunjung akan melihat wajah dari prosesi penyucian diri yang amat beragam dalam setiap bidang pigura. Sebagaimana ritus itu berlangsung dalam kehidupan manusia, selalu memberi makna sekaligus dampak yang berbeda-beda pula. 

*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post, Minggu 17 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar