Sejak
kehadirannya pada abad 19 lalu, fotografi segera merebut perhatian publik
sebagai media perekam sekaligus penghadir ulang kenyataan yang paling ampuh.
Kemampuan mekanisnya dalam menangkap detail dari sebuah peristiwa, membuat
manusia modern hingga kini terus mengagungkannya sebagai pencatat sejarah atas
peristiwa yang dialaminya maupun yang terjadi di seputar dunia. Fotografi
menjelma menjadi sarana dokumentasi yang paling populer seiring dengan
berkembangnya peradaban manusia. Dari ruang-ruang personal hingga
peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di entah belahan dunia mana, tidak luput
dari tangkapan lensa kamera. Terlepas dari fungsi tersebut, fotografi juga
menjadi bagian dari sarana ekspresi bagi seniman visual dalam menuangkan
gagasannya. Ekspresi tersebut bisa saja berupa konsep atau bisa juga berupa
respon atas suatu peristiwa.
Sebuah
pameran bertajuk “Prayascita” yang digelar komunitas fotografi Lingkara
Photoart mencoba menghadirkan sudut pandang lain dalam menakar sebuah peristiwa
melalui fotografi. Bebarengan dengan prosesi (ritual) yang digelar oleh
komunitas ini untuk menandai berakhirnya renovasi ruang yang selama ini mereka
tempati sebagai ruang kreatif, sebuah ritus penyucian diri pun mereka
langsungkan pada hari Minggu, 3 Mei lalu.
Dalam
tradisi masyarakat Bali, prosesi penyucian diri disebut sebagai ritus
Prayascita. Sebuah ritus yang digelar untuk menandai babak baru dalam kehidupan
manusia pasca peristiwa besar (bersifat baik maupun buruk) yang berlangsung
dalam hidupnya. Bagi masyarakat Bali, ritus telah menjadi peristiwa yang
berlangsung sehari-hari. Satu ritus akan segera disambut dengan ritus yang lain
dalam kurun waktu yang relatif berdekatan, oleh karenanya ritus tersebut telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Erik
Prasetya dalam bukunya, Estetika Banal, memandang fotografi sebagai sarana
untuk merekam berbagai peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat apapun
stratifikasinya. Fotografi tidak lagi terjebak pada ruang-ruang yang ditata
sedimikian rupa dengan tujuan semata-mata untuk mengejar keindahan visual yang
dihasilkan oleh kamera. Akan tetapi, fotografi bisa saja masuk ke segala ruang
yang memungkinkan lensa kamera bekerja. Kerumunan orang di pinggir jalan,
keriuhan pasar tradisional, timbunan sampah sehabis upacara, ataupun sumuk
sesaknya sebuah bis kotapun layak direkam melalui fotografi.
Terlepas
dari kesucian prosesi Prayascita yang dilangsungkan, pameran foto ini mencoba
memberikan takaran baru atas tema ataupun peristiwa Prayascita itu sendiri.
Foto-foto yang hadir di sini tidak hanya merekam prosesi tersebut sebagai
peristiwa yang dibekukan, melainkan mencari sejauh mungkin
kemungkinan-kemungkinan baru untuk memaknai prosesi yang mereka langsungkan
maupun mendedah realitas yang mereka alami sendiri. Hal tersebut dibenarkan
oleh DP Arsa, penggerak komunitas Lingkara Photoart yang juga turut memamerkan
karyanya dalam pameran ini. Bahwa setiap fotografer yang terlibat dalam pameran
tersebut dibebaskan untuk menjelajahi berbagai kemungkinan pemaknaan, baik pada
tataran empirik maupun semiotik atas tema Prayascita tersebut.
Melalui
karya yang berjudul “Journey to Holy,”
DP Arsa menghadirkan sebuah gambaran filosofis tentang perjalanan kehidupan
manusia yang dimetaforakan melalui pisang dan lima gulung daun dap-dap. Dua
macam benda yang begitu kerap dijumpai pada hampir setiap prosesi upacara dalam
tradisi bali. Kedua benda tersebut tentu menyimpan nilai-nilai filosofis
kehidupan manusia, dengan kesadaran bahwa setiap hal yang menjadi sarana atau
kelengkapan dalam sebuah prosesi merupakan simbol-simbol dari tata nilai dan
moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam
kultur masyarakat tradisional yang cenderung bercorak agraris, sebagaimana
Bali, terdapat suatu kesadaran kolektif tentang segala sesuatu yang terdapat di
alam saling terkoneksi satu sama lain. Segala yang tumbuh, dimaknai sebagaimana
makhluk hidup sekaligus dipersonifikasikan. Sehingga sifat benda-benda (pohon,
buah, dan binatang) tersebut juga mewakili sifat-sifat kemanusiaan. Gambaran
tersebut divisualkan dengan sangat apik oleh Alma, Fotografer wanita tersebut
mendedah makna ritus melalui tiga benda yang baginya dianggap mewakili jenjang
kehidupan manusia. Serupa dengan Arsa, Alma juga mengambil objek dari khazanah
ritus itu sendiri, yaitu telur bebek, beras, dan bungkak (kelapa muda) gading yang masing-masing diikat dengan
benang tiga warna; Tridatu. “Telur menjadi simbol kelahiran, beras menjadi
simbol kehidupan itu sendiri, sedangkan bungkak menjadi simbol dunia pasca
kehidupan itu,” jelasnya. Dengan latar yang serba gelap, Alma mencoba
menawarkan esensi tentang pencarian makna itu sendiri.
Sedikit
mengutip Sontag, bahwa dalam fotografi, memotret sama halnya dengan mengambil
posisi dalam keringkihan dan kefanaan orang lain. Dalam setiap peristiwa,
seorang fotografer tetaplah menjadi entitas yang berada di luar lingkup
tersebut. Fotografer berhak menentukan dari sudut mana ia ingin merekam yang
sekaligus menjadi pernyataan sikapnya terhadap situasi yang dilihatnya itu. Sepakat
atau tidak, serangkaian foto yang diambil dari sebuah peristiwa (prosesi) akan
menyusun narasinya sendiri saat berhadapan dengan pengunjung pameran. Rudi
Waisnawa menghadirkan narasi itu dengan memotret tahapan penyucian diri yang
dilakukan sebuah keluarga terhadap salah satu anggotanya yang mengalami
gangguan jiwa. Seolah menarik pemirsa untuk masuk dalam peristiwa tersebut,
sekaligus membangun empati terhadapnya.
Pada
akhirnya, fotografi adalah soal berbagi pandangan. Membagi pengalaman melihat,
sekaligus subjektifitas si pemilik lensa. Dan melalui pameran ini, setiap
pengunjung akan melihat wajah dari prosesi penyucian diri yang amat beragam
dalam setiap bidang pigura. Sebagaimana ritus itu berlangsung dalam kehidupan
manusia, selalu memberi makna sekaligus dampak yang berbeda-beda pula.
*) tulisan ini pernah dipublikasikan di Bali Post, Minggu 17 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar