karya Nyoman Erawan
Berbicara mengenai perupa asal Bali yang tinggal di Yogyakarta tentu tidak ada habisnya, selain karena jumlah mereka yang secara komunal begitu banyak, prestasi yang mereka torehkan dalam jagat seni rupa juga tidak sedikit. Entah sejak kapan persisnya para perupa asal Bali ini mulai bermisgrasi ke Yogyakarta, yang jelas sejak awal era 60-an telah tercatat nama Nyoman Gunarsa sebagai salah seorang mahasiswa di Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang ISI Yogyakarta). Pasca Nyoman Gunarsa, para perupa-perupa asal Bali datang berbondong-bondong ke Yogyakarta untuk menimba ilmu sekaligus mengadu nasib di perantauan. Banyak di antaranya yang setelah purna menempuh pendidikan kemudian tumbuh menjadi nama-nama besar dalam dunia seni rupa, mereka antara lain Made Wianta, Made Budhiana, Nyoman Erawan, Putu Sutawijaya, Nyoman Masriadi, termasuk deretan nama yang paling muda antara lain Gede Arya Sucitra, Komang Sinduputra, hingga Gede Oka Astawa.
Jika diingat, pada kisaran awal tahun 90-an para perupa asal pulau dewata ini mampu menciptakan gelombang aliran Abstrak ekspresionis. Sebagian besar dari mereka tetap menampilkan eksotisme kesukuannya, antara lain dengan masih mengabstraksikan ornamen-ornamen lokal yang mereka bawa dari daerah asalnya. Seperti misalnya barong, tari kecak, maupun motif-motif poleng khas Bali. Dan ternyata, melalui aliran abstrak ekspresionis ini, ornamen-ornamen tersebut justru mampu hadir secara hidup. Jika dalam lukisan realisme, ornamen tersebut tampil diam, maka dalam abstrak ekspresionisme ini gerak tariannya seolah turut dilukiskan.
Aliran ini juga seakan-akan menjadi wabah yang menjangkiti hampir sebagian besar perupa di yogyakarta pada tahun-tahun tersebut. Mereka ramai-ramai menuangkan cat kemudian mencipratkannya secara sembarang, spontan dengan mengandalkan intuisi. Bukan tanpa alasan aliran ini digandrungi oleh para perupa, proses melukis dengan cara ini terbilang lebih cepat jika dibandingkan dengan melukis realis menggunakan kuas. Selain itu pada kisaran tahun tersebut, lukisan-lukisan beraliran ini juga boleh dibilang laku di pasaran. Bahkan, pasar sempat mencatat karya Made Sumadiyasa yang laku seharga 50 juta rupiah pada masa itu. Maka tak heran jika banyak perupa lain yang turut kepincut untuk menekuni aliran ini, diakui atau tidak, rupiah tetap menjadi iming-iming yang menjanjikan.
"Happiness of mountain" karya Putu Sutawijaya
Selain Made Sumadiyasa, perupa lain yang begitu konsisten menekuni aliran ini antara lain Putu Sutawijaya. Di atas permukaan kanvas yang berlatar percampuran warna-warna tanah, Pelukis kelahiran Tabanan ini mengolah figur-figur anonim yang merupakan visualisasi dari tarian Sanghyang. Tarian Sanghyang sendiri merupakan sebuah tarian sakral yang biasa ditampilkan di pelataran pura, para penari dalam tarian ini akan bergerak secara bebas, seolah dirasuki ruh leluhur atau dewa. Bagi Sutawijaya, visual yang ditampilkannya di atas kanvas merupakan sebuah gambaran dari the Holly Spirit yang merasuk ke tubuh penari, atau yang oleh mereka biasa disebut Taksu.
Sebenarnya, teknik melukis tanpa kuas dalam aliran abstrak ekspresionis ini dikenal dengan nama teknik gestural. Teknik ini mengandalkan kecepatan respon dan kelincahan tangan dalam menuangkan cat ke permukaan kanvas yang biasanya digelar secara mendatar, bukan berdiri sebagaimana lazimnya orang melukis. Teknik semacam ini memang kerap dilakukan dengan memainkan emosi pelukisnya tersendiri, bahkan banyak anggapan yang menyebut bahwa teknik ini lahir melalui situasi trans yang dialami oleh pelukis. Seolah-olah proses melukis tersebut didominasi oleh pikiran bawah sadarnya.
Para penganut abstrak ekspresionnis asal Bali ini meyakini benar pendapat tersebut, karena bagi mereka melukis merupakan sebuah proses spiritual. Sebagaimana kebanyakan orang bali, berkesenian atau melukis pada khususnya memang menjadi bagian dari keseharian. Proses ini tidak dihayati sebagai sebuah pekerjaan atau hobbi semata, melainkan sebagai bagian dari ritual adat yang mereka jalani sehari-hari. Diyakini bahwa melalui jalan kesenian hubungan antara manusia dengan sang pencipta dapat terjalin selaras. Melalui kesenian jugalah, manusia sebagai makhluk ciptaan dapat memberi persembahan bagi pencipta yang agung. Maka tidak heran jika dalam lukisan-lukisan mereka selalu terlampir nilai-nilai spiritualitas.
*)tulisan ini pernah dipublikasikan di Jogjareview.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar